ekonesia.com – Raksasa minyak Saudi Aramco tetap membagikan dividen sebesar USD31 miliar atau setara Rp483,4 triliun (kurs Rp 15.596 per USD) untuk membantu kas negara, meski utang perusahaan juga terus meningkat. Perusahaan yang mayoritas dimiliki negara Saudi, mempertahankan sebagai pemberi dividen terbesar di dunia, bahkan ketika tekanan keuangan semakin berat.
Prospek minyak menjadi suram seiring kekhawatiran atas permintaan minyak dunia, namun dividen Aramco masih mengalir untuk menjadi tenaga buat keuangan pemerintah. Namun analis mempertanyakan, sampai berapa lama pembayaran dividen Aramco mampu bertahan.
Aramco masih terus membayar dividen yang melebihi pendapatannya, karena rencana transformasi ekonomi ambisius Arab Saudi yang memperlebar defisit anggaran pemerintah. Namun, Aramco sendiri mengalami peningkatan utang bersih sebesar USD8,9 miliar selama kuartal tersebut, dibandingkan dengan kas bersih USD27,4 miliar setahun yang lalu dan USD2,3 miliar pada akhir Juni.
Arus kas bebas, yaitu uang yang dihasilkan dari operasi setelah belanja modal, sebesar USD21,99 miliar pada kuartal ketiga lebih rendah dari total dividen. Pembayaran dividen ini sangat penting untuk anggaran Saudi karena harga minyak mentah masih jauh di bawah tingkat yang dibutuhkan kerajaan untuk menyeimbangkan pengeluaran.
Sementara itu, Putra Mahkota Mohammed Bin Salman sedang mendorong maju proyek mahal dan ambisius yakni futuristik Neom. Namun, beberapa rencana sepertinya bakal dipertimbangkan karena masalah pendanaan, termasuk pabrik kimia Aramco sendiri.
Laba bersih Saudi Aramco turun 15% menjadi USD27,6 miliar pada kuartal yang berakhir September 2024, dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menurut sebuah pernyataan pada hari Selasa. Laba yang disesuaikan yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham meleset dari perkiraan analis yang disusun oleh Bloomberg.
Pada kuartal ketiga, Aramco menjual minyak mentah dengan harga rata-rata USD79,30 per barel, USD10 lebih rendah dari tahun sebelumnya. Produksi juga telah ditahan sekitar 9 juta barel per hari selama lebih dari setahun sebagai bagian dari upaya OPEC+ untuk menghidupkan kembali pasar.
OPEC+ pada hari Minggu memutuskan untuk menunda rencana untuk secara bertahap melepas pemotongan, karena harga minyak mentah masih berjuang di tengah prospek ekonomi yang rapuh.
Saham Aramco turun 0,7% di Riyadh dan sepanjang tahun ini sudah anjlok 17%. Kinerja Aramco terbilang buruk bila dibandingkan dengan perusahaan minyak utama global seperti Exxon Mobil Corp. dan Shell Plc.