ekonesia.com – Cuaca buruk telah menimbulkan kerugian sebesar USD2 triliun atau Rp32.000 triliun selama satu dekade terakhir. Hal ini diungkapkan oleh sebuah laporan yang dirilis saat para diplomat menghadiri pertemuan iklim Cop29 untuk membahas pendanaan.
Menurut analisis yang dilakukan terhadap 4.000 kejadian cuaca ekstrem terkait iklim, kerugian ekonomi mencapai USD451 miliar dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Namun, angka tersebut mencerminkan kerugian penuh dari cuaca ekstrem, bukan hanya yang disebabkan oleh kerusakan iklim.
John Denton, Sekretaris Jenderal Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce/ICC), yang menyusun laporan tersebut menyatakan bahwa data dari dekade terakhir menunjukkan bahwa perubahan iklim bukanlah masalah di masa depan. “Kerugian produktivitas yang besar akibat peristiwa cuaca ekstrem sedang dirasakan saat ini oleh ekonomi riil,” ujarnya seperti yang dikutip oleh The Guardian, Selasa (11/12/2024).
Laporan tersebut juga menemukan adanya tren kenaikan biaya kejadian cuaca ekstrem antara tahun 2014 dan 2023, dengan lonjakan yang signifikan pada tahun 2017 ketika Amerika Utara dilanda musim badai yang aktif. Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang paling banyak mengalami kerugian ekonomi selama periode 10 tahun tersebut, yaitu sebesar USD935 miliar, diikuti oleh China dan India.
Para ilmuwan masih kesulitan untuk memperkirakan sejauh mana peran manusia dalam peristiwa cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi akibat polusi dan pemanasan global. Namun, yang pasti, dampak buruk dari cuaca ekstrem telah dirasakan oleh banyak negara, terutama yang rawan bencana seperti pulau-pulau kecil yang mengalami kerugian terbesar.