Ekonesia.com – JAKARTA – Saat ini, terdapat sedikitnya enam kapal kandas yang tersebut belum ditangani dalam wilayah pesisir Pandeglang, Banten. Keenam kapal yang dimaksud terdiri dari tongkang Mannalines yang dimaksud kandas dalam wilayah Bayah, tongkang Nautica 25 di dalam Pulau Tinjil, tongkang Titan 36, Kapal Motor Felya, tongkang DBD 3028, juga tug boat Daya 28. Bahkan, kemungkinan masih ada kapal-kapal atau tongkang lainnya yang tersebut mengalami hal serupa.
Tiga unit tongkang telah lama dipotong-potong sebagian oleh pemborong besi tua di area lokasi kejadian, sementara tiga unit lainnya masih terbengkalai meskipun sudah ada berbulan-bulan. Diduga, kapal-kapal ini menanti pembeli besi tua untuk diproses tambahan lanjut.
Pengurus DPP INSA, Zaenal Hasibuan, menilai lambannya penanganan kecelakaan kapal ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi aparat Syahbandar di tempat KUPP Kelas 3 Labuan. Sebagian aparat di area sana tidak ada memenuhi standar kompetensi, sertifikasi, lalu kualifikasi yang mana disyaratkan di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
“Bunyi Undang-Undang yang disebutkan jelas menyatakan bahwa rekrutmen, rotasi, mutasi, dan juga penawaran ASN harus mengacu terhadap kompetensi, kualifikasi, juga sertifikasi pegawai negeri yang tersebut bersangkutan,” tegas Zaenal pada pernyataannya, Awal Minggu (10/2/2025).
Menurutnya, ketidakkompetenan aparat ini menyebabkan dia lebih banyak memilih berdiam diri pada kantor daripada mendatangi lokasi kejadian untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan, sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang digunakan menyebutkan penanganan kecelakaan kapal adalah tanggung jawab Syahbandar.
“Parahnya lagi, alih-alih menjadi bagian dari pemerintah yang tersebut mengawasi juga memerintahkan pemilik kapal untuk segera mengevakuasi kapalnya, merekan lebih tinggi memilih membantu mencari pembeli besi tua agar kapal-kapal yang disebutkan dapat dipotong di area lokasi kejadian. Hal ini sangat bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 71 Tahun 2013 yang mana telah terjadi diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 27 Tahun 2022, khususnya Pasal 14 yang digunakan menyatakan bahwa penyingkiran kapal harus diselesaikan di waktu maksimum 180 hari setelahnya kejadian,” jelasnya.
Hal itu semakin diperburuk dengan bukan adanya rotasi jabatan bagi pejabat-pejabat yang dimaksud sesuai dengan kemampuan mereka. Di tempat lain, setiap kali terjadi kecelakaan pelayaran, Syahbandar selalu menjadi pejabat pertama yang digunakan datang ke lokasi kejadian untuk mengevaluasi juga memberikan bantuan yang dimaksud diperlukan. Namun, di dalam Banten, merekan malah memilih diam di tempat kantor.
“Melihat sikap Syahbandar seperti ini, telah seharusnya Direktur Jenderal Perhubungan Laut mencopot atau minimal memindahkan pejabat-pejabat yang disebutkan ke kedudukan yang mana tambahan sesuai dengan keterbatasan mereka,” tandas Capt. Zaenal.
Dampak dari ketidakmampuan Syahbandar sangat fatal bagi Daerah Pandeglang, yang dimaksud memiliki alur laut banyak lalu rutin mengalami gelombang besar. Pantai-pantai di tempat sana sekarang berubah menjadi kuburan kapal yang dimaksud tak ditangani.